Dalam pembukaan acara Pasar Indikasi Geografis kemarin (13/05), Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) menjelaskan Indikasi Geografis (IG) atau Geographical Indication yang sudah digagas Indonesia sekitar 10 tahun lalu.
Pada dasarnya IG adalah sebuah sertifikasi dilindungi undang-undang yang diberikan pada produk tertentu yang sesuai dengan lokasi geografis tertentu atau asal (seperti kota, wilayah, atau negara). IG mengakui produk dengan kualitas tertentu, dibuat sesuai dengan metode tradisional, atau menikmati reputasi tertentu dan atribut wilayah tertentu.
Produk-produk tersebut umumnya berupa produk tradisional yang dihasilkan masyarakat pedesaan dari generasi ke genarasi. Produk ini bahkan telah dikenal luas di pasar karena kualitasnya spesial.
"Contoh kasus terkait IG di Indonesia adalah merek Beras Pandan Wangi Cianjur. Merek ini seharusnya merujuk pada beras yang dihasilkan di Cianjur dan dibudidayakan dengan cara atau metode tertentu. Namun karena belum ada aturan jelas, selama ini banyak produk beras bisa menggunakan merek Pandan Wangi Cianjur begitu saja," jelas Lisa Virgiano yang menjadi fasilitator acara.
Sistem IG di dunia pertama kali diperkenalkan Prancis sejak awal abad ke-20. Pemerintah Prancis memberikan Appellation d'Origine Contrôlée (AOC) pada produk lokal yang memiliki kriteria geografis tertentu dan kriteria khusus lainnya. Seperti keju Roquefort yang merupakan keju susu domba dari trah Lacaune, Manech, dan keturunan Basco-Bearnaise. Hanya keju yang disimpan dalam gua-gua Combalou di wilayah Roqueforty-sur-Soulzon saja yang boleh diberi nama Roquefort.
Pada tatanan internasional, perlindungan sistem IG tertuang dalam norma Persetujuan Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPs). Sementara di Indonesia, IG diatur dalam UU Merek No. 15 Tahun 2001 Pasal 56 ayat (1).
Hasil bumi Indonesia yang begitu melimpah dan beragam perlu untuk dilindungi. Terutama produk yang memiliki ciri khas karena faktor alam, lingkungan geografis, manusia, atau kombinasi dari berbagai faktor tersebut menunjukkan karakter daerah asal tempat produk dihasilkan.
Saat ini ada 35 produk IG Indonesia yang didaftarkan ke DJKI. Diantaranya Kopi Arabika Kintamani Bali, Pala Tapaktuan Aceh, Pala Fakfak Papua, Garam Laut Amed Bali, Beras Adan Krayan, Kopi Arabika Flores Bakawa, Tenun Ikat Sikka, dan lainnya. Info produk bisa diakses di www.dgip.go.id dengan menu Indikasi Geografis.
"Selain melindungi produk daerah agar tidak diklaim perusahaan besar, sertifikasi IG bertujuan memberi nilai lebih para produk lokal. Seperti garam amed Bali yang tadinya sudah mau gulung tikar karena tidak kuat bersaing. Setelah mendapat pembinaan dan dilakukan pendekatan khusus, kini garam amed diproduksi kembali," ujar Parlagutan Lubis dari DJKI.
Ia mengatakan ke depannya IG bisa turut mempromosikan sebuah daerah dan membuat ekonomi daerah tersebut berkembang.
Untuk memperkenalkan ragam produk IG, DJKI bekerja sama dengan pemerintah Swiss melalui program Indonesia-Swiss Intellectual Property Project (ISIP), dan Potato Head Jakarta mengadakan Pasar Indikasi Geografis atau GI Market Place di Potatoe Head Pacific Place.
Selain produk IG, Pasar Indikasi Geografis turut menghadirkan rangkaian lokakarya cita rasa dengan narasumber Masyarakat Perlindungan Indikasi Geografis (MPIG). Acara ini berlangsung pada 14-15 Mei 2016, pukul 10.00-17.00 WIB.
Tak ketinggalan, tim Potato Head Pacific Place sudah menyiapkan 3 menu makanan dan 3 minuman berbahan produk IG yang bisa dinikmati pengunjung umum mulai 9-22 Mei 2016. Pilihan menunya antara lain Braised Beef Short Rib, Char Grilled Fresh Tuna, Krayan Organic Rice Pudding, Pandan Pinacolada, Mangosteen Negroni, dan Gayo Espresso Martini. Harga tiap menu mulai dari Rp 80.000++ sampai Rp 300.000++.
Sunber: https://food.detik.com/read/2016/05/15/141435/3210735/294/sertifikasi-indikasi-geografis-sangat-perlu-untuk-lindungi-produk-lokal-unggulan
0 komentar:
Posting Komentar